Saturday, September 7, 2013

Cinta Kita Terhalang Syahadat : Chapter 11 - Tentang Cinta


Cinta
Aku bukannya tak pernah punya cinta dalam hidupku. Namun aku menutup hatku untuk laki2, paling tidak untuk saat ini. Aku belum siap untuk kembali terluka. Saat itu usiaku belum genap 17 tahun ketika pertama kali aku mengenal cinta. Dia yang selama aku bersamanya tidak pernah saling mengungkapkan, hingga hari dimana dia akan menikah, namun terlambat. Terlambat untukku dan juga dia. Mungkin saat itu baginya aku hanyalah cinta sesaat, atau pelampiasan ketika jenuh dengan kekasihnya. Namun bagiku, dia adalah cinta pertamaku yang tak pernah bisa terlupakan.

Orang menyebutku sebagai gadis bermata tajam, mereka bilang jika ingin melihat isi hatiku yang sebenarnya, maka tataplah mataku. Karena melalui mataku, semua ekspresi terpancar jelas.  Aku tak berkeberatan dengan itu. Namun memang aku tak pernah berani untuk kembali jatuh cinta. Tidak pula pada Ryu. Kuakui memang aku jatuh cinta pada pandangan pertama pada lelaki itu. Pada rintik hujan awal pertemuan tak sengaja diantara kita.  Pada sepatu hak tinggi yang pertama kukenakan. Dan pada kota baru aku menginjakkan kaki membuka lembaran baru atas luka yang sebelumnya kurasakan.

Namaku Cinta, namun rupanya aku tak beruntung dalam urusan percintaan. Kembali aku harus merasakan pahitnya cinta. Ryu ternyata tak sebaik yang kukira. Dia hanyalah seorang playboy yang menuruti hawa nafsunya saja. Memang tak baik menilai orang hanya dari awal pertama jumpa. Sikapnya yang gentle padaku hanya basa-basi saja. Hanya untuk mendapatkanku, dan mungkin jika aku sudah didapatkannya, hanya untuk dijadikannya pelampiasan nafsunya saja. Membayangkannya saja sudah merinding, lebh baik untuk menjauh sejauh-jauhnya. Mengingat kejadian ketika aku melihat dia bercumbu dengan seorang gadis di belakang kedai kopi atau ketika bersama gadis lain saling meraba di ruang kelas membuatku merasa risih dan mengutuk diriku sendiri bisa2nya sempat jatuh hati pada lelaki macam ini.

Terlebih lagi ketika dia dengan seenaknya melarangku berhubungan dengan fotografer yang memamerkan gambarku, Iwase Takayama. Saat itu aku bahkan tak mengenal dia. Aku hanya tahu dia adalah kakak tingkat dari teman klub musikku, Akira Junpei. Padahal kami hanya beberapa kali bertemu, dan dia mengambil gambarku secara tidak sengaja. Jika memang gambar yang diambil bagus dan menurut dia layak dipamerkan, bukan salahku bila itu terjadi.. Ah..aku tak mengerti apa yang ada dipikiran Ryu. Dia bukan siapa2 ku. Dan aku memang harus menjauh dari dia. Tidak, aku tak ingin berdekatan dengan dia.

Hujan kembali mengguyur deras, dan aku masih memandangi jendela ketika pelayan cafe menuju ke arah mejaku dan mengambil piring makananku yang sudah selesai. Sepertinya memang aku harus tinggal lebih lama di cafe ini mengingat aku tak membawa payungku. Dan sekali lagi aku memesan dessert dan mengambil minuman di drink bar. Kulihat adanya pergantian staff di dalam cafe, dan kusadari waktu sudah menunjukkan pukul 16.00. Telepon gengamku bergetar, kulihat di display ada pesan masuk dari Mama. Kubuka pesan itu, Mama memintaku mengambil libur di musim panas ini karena akan kembali ke Indonesia mengurus beberapa surat. Seperti biasa setiap tahunnya, sejak kepindahan kami ke Jepang ini saat umurku 10 tahun, tak terasa genap sudah 10 tahun aku tinggal di negara ini. Kubalas singkat pesan Mama dan kembali memandangi jendela. Tiba2 aku dikejutkan dengan suara laki2.

"Boleh saya duduk disini?"
Aku mengenalinya sebagai pelayan yang tadi mengambil piring dish ku.
" Aku cukup sering melihatmu makan di cafe ini. Perkenalkan aku Tachibana Koichiro "
" Ah silakan silakan" kataku sambil mempersilakan dia duduk. Rupanya dia sudah ganti shift. " Hai, namaku Adriana Cinta, salam kenal."
" Mahasiswa asing di universitas X ? "
" Ah dibilang mahasiswa asing juga bukan seperti itu, namun saya juga bukan penduduk asli negara ini "
" Sudah lama tinggal di jepang ya? Saya di teknik, tingkat 4, kamu? "
" Sastra tingkat 4 juga "

Dan mengalirlah pembicaraan kami sampai hujan berhenti satu setengah jam kemudian. Ichiro, begitu panggilannya, memberikan kesan yang begitu ramah, sopan dan hangat. Sepertinya akan menjadi teman yang menyenangkan. Kubuka pintu kamarku, kulempar begitu saja tasku dan kunci sepeda. Kuambil handuk dan bergegas masuk ke kamar mandi. Menikmati guyuran shower air hangat dan mencoba mengenyahkan pikiranku tentang cinta.

2 comments

Bakal lebih menarik kalau diceritakan isi obrolannya dengan Ichiro, hehehe, kesannya kepo, ya? Ya biar pembaca ngeh, kenapa Cinta bisa cepat melupakan kesedihannya setelah chit chat dengan seorang Ichiro

Siap mbaaak.... makasih sarannya...bagus juga mbak...coba nanti setelah ngurusin data sample selesai, saya mau nyari ide buat merangkat katanya. Takut jadi garing mbak kalo dibaca hehe


EmoticonEmoticon