Thursday, September 24, 2015

Summer for the Misanthrope Love (3)

Semakin aku mengenal Rania, semakin aku tak bisa melepaskan pandanganku darinya. Tingkahnya yang kadang begitu pendiam, kadang tertawa lepas, kadang tersenyum dengan mata sendu. Aku menjulukinya gadis dengan seribu ekspresi, atas ketidakmampuannya menyembunyikan ekspresi hatinya. Teman2 senegaranya menyebutnya anti sosial, namun dia sangat terlihat akrab dengan komunitas mahasiswa asing disini. Tapi aku tak peduli dengan apa yang mereka katakan tentang Rania. Yang aku tahu, dimataku, Rania adalah Rania. Gadis mungil dengan seribu ekspresi uniknya.


Sama seperti hari2 sebelumnya, kami hanya sekedar bertemu, menyapa, tersenyum lalu kemudian berlalu. Namun aku selalu tak pernah absen untuk sekali lagi menengok ke arahnya untuk memastikan langkahnya. Aku tak mau terlalu cepat menimpulkan ini cinta, namun hatiku berdebar keras setiap kali bertatapan dengannya. Aku tahu dengan pasti bahwa dia sudah bertunangan dengan pria di negaranya. Meski setiap kali aku tanya pada beberapa kali kesempatan, dia selalu menghindar.

Hari demi hari, entah sebuah kebetulan semata, atau memang Tuhan yang berkehendak untuk mengatur skenario, selalu saja kami ada dalam sebuah acara. Dan selalu saja aku dan dia duduk berdua dalam satu meja. Namun itu menjadikan sebuah kesempatan tersendiri untuk kami saling mengenal satu sama lain. Dan semakin aku mengenalnya, hatiku semakin terasa seperti terpukul. Dia tahu bagaimana cara memperlakukan pria angkuh sepertiku untuk kemudian menurut apa yang dia inginkan. Dan aku tak pernah bisa menolak satu pun permintaannya. Bahkan, untuk sekedar meninggalkan alkohol pun aku sanggup. Dan aku mulai terbiasa ada dia yang selalu berputar di sekelilingku. Dering telepon di pagi hari guna membangunkanku, atau bunyi bel berkali2 saat dia berkunjung ke apartemenku, setiap komplainnya ketika memasuki dapurku. Aku sudah terbiasa dengan itu, hingga tanpa sadar, aku mulai meninggalkan kebiasaanku bermain2 dengan wanita2 lain. Dia benar2 membuatku berubah, membuatku merasa lebih baik sebagai seorang manusia. Lebih membuatku berfikir selayaknya orang dewasa. Meski dalam beberapa hal, aku masih merasa ada suatu rahasia yang dia hindarkan pada publik. 

Pertama kali akumenyadari bahwa aku jatuh cinta padanya, adalah saat malam paling mendebarkan. Saat itu aku mendengar kabar dari Salvia, bahwa Rania saat ini sedang dilarikan ke rumah sakit akibat kecelakaan di depan kampus. Tanpa banyak kata, aku langsung bergegas menuju rumah sakit, hingga aku lupa mengunci pintu ruanganku. Dalam kepanikan, aku bolak-balik bertanya dimana ruangannya. Ketika melihatnya sedang di ruang perawatan, dan dia sedang duduk dengan lutut terlilit perban dan beberapa luka di tangannya, seketika lututku melemas. Ada rasa lega yang begitu luar biasa. Dia, dengan tenangnya menggerakkan lututny seperti anak kecil sambil menoleh padaku yang berdiri lemas di depan pintu.

"Andre, ngapain disini?"

Seketika aku berjalan pelan seperti orang linglung ke arahnya, kupeluk dia dengan perasaan yang sangat lega. Entah, aku tak mau berkata apa2. Aku hanya merasa bersyukur, Rania tak terluka berat. Dan aku memeluknya erat, dan semakin erat.


EmoticonEmoticon