Sunday, November 22, 2015

Pamer

Setiap orang pasti suka sekali menjadi pusat perhatian. entah sengaja atau tidak. Dan setiap orang punya hasrat natural untuk menjadi pusat perhatian. Salah satunya adalah dengan cara pamer. Segudang hal bisa dipamerkan, tak lain adalah untuk menarik perhatian sesiapa yang menjadi tujuan pamer.

Akhir2 ini, saya sedikit agak risih dengan teman2 lama yang entahlah apa maunya. Diusia yang sudah dibilang, sudah saatnya untuk menjadi lebih bijak dan kekeluargaan, nampaknya malah usia seperti ini merupakan usia yang rawan deteriorasi kedewasaan. Banyak sekali yang pamer ini pamer itu. Baiklah, mungkin hanya penilaian saya semata, dan saya yakin, mungkin di antara teman2 saya juga ada yang menganggap saya pamer. Tidak menutup kemungkinan, karena hidup memang sawang sinawang. Hanya, dari saya pribadi, risih saja jika pamer itu ditujukan frontal di ranah pribadi. Buat apa???

Ok lah, taruhlah kamu posting tentang hari ulang tahunmu dengan kue setinggi dirimu dan dikelilingi banyak hadiah mewah. Maksudmu mungkin berbagi kebahagiaan di sosial media. Atau mengabadikan memori di sosial media. Itu masih bisa dinilai secara positif. Namun, apabila membaginya di ranah chat pribadi, maksudnya apa? Tentu saja pamer.

Sangat disayangkan sekali, ada beberapa teman saya yang berlaku seperti itu. Seakan menjadikan status saya yang masih belum menikah ini sebagai sebuah kelemahan dan sasaran empuk untuk ajang pamer status menikah. Atau status saya yang masih mahasiswa ini kemudian dijadikan sasaran ajang pembullian status bekerja. Sudah terlalu sering saya sabar dan nggak merespon. Namun, terakhir kalinya, saya runtuh juga dari kebebalan saya.

Sebenarnya, apa sih yang berguna untuk dipamerkan? Toh semua hal yang kita miliki adalah pemberian dari Tuhan. Hanya Tuhanlah yang berhak untuk pamer. Itu lho, Tuhan bisa bikin galaksi yang segede itu. Itu lho, Tuhan bisa bikin black hole yang mampu menelan semua cahaya. Itu lho, Tuhan punya terompet yang kalo sekali ditiup semua galaksi2 bertabrakan. Manusia itu cuma apalah, nggak juga seukuran debu2 intan di luar angkasa.

Rejeki dari Tuhan untuk manusia itu pada dasarnya sama porsinya. Hanya wujudnya berbeda2. Ada yang rejekinya bagus di keuangan, ada yang bagus di kekeluargaan, ada yang bagus di keberuntungan. Lantas, apa sih yang mesti kamu pamer2kan? Toh pada saatnya nanti, orang lain juga akan bisa merasakan hal yang sama. Hanya waktunya yang berbeda. Bukan berarti bahwa karena kamu lebih dulu merasakan nikmat sesuatu dari orang lain, bukan berarti orang lain tidak bisa merasakannya kan? Bagaimana jika nikmat itu lebih enak kalo dirasakan orang lain dibanding kamu? Sudahlah, hentikan kebiasaanmu pamer. Kalau Tuhan mencabut nikmat itu, lantas apa yang akan kamu lakukan? Menyesali akepameranmu terdahulu? Mungkin saja nanti saya tertawa keras, atau malah kasihan.

Saya belajar dari bapak dan ibu saya yang super kolot, kalau punya sesuatu, nggak usah orang lain dikasih tau. Satu, karena orang lain belum tentu bisa memilikinya dengan mudah. Dua, karena kita tidak pernah tau sampai kapan kita bisa memilikinya, karena sewaktu2 tuhan bisa mengambil dan menggantinya sesukaNya. Rejeki, sukses, itu semua bukan semata kerja keras kita. Tapi karena restu Tuhan. Lantas, apa yang berhak kamu pamerkan?

Rupanya memang lagi2 proses deteriorasi kedewasaan sedang terjadi di kalangan umur perempatan abad menuju ke sepertiga abad ini. Perlu jiwa besar untuk menerima dan menjalani hidup. Dan seperti saya, tak lepas dari perilaku kemunduran kedewasaan. Ketika hidup mengujimu untuk selalu berpikir positif, berperilaku positif, dan berbuat positif, terkadang hal2 yang tidak diinginkan memang selalu menjadi pengganjal. Tapi, kita harus tetap menjalani hidup dengan keteguhan hati, apapun cobaannya. Seperti lagu Brave Heart soundtrack digimon adventure ini.




EmoticonEmoticon